Perlukah TNI menambah Batalyon di Aceh?
Panglima
TNI yang baru, Jenderal TNI Moeldoko menyatakan bahwa TNI akan menambah
satu batalyon lagi di Aceh guna memantapkan sistem pertahanan di Aceh.
Pernyataan Panglima TNI tersebut disampaikan pada saat mendampingi
kunjungan Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro ke Markas Lanal,
Lhokseumawe, kamis Minggu lalu. Pada kesempatan tersebut, Panglima juga
menambahkan bahwa TNI juga akan membangun Pangkalan Angkatan Laut
sebagai pengembangan pangkalan yang sudah ada sekarang guna memperkuat
sistem pertahanan.
Rencana Panglima TNI tersebut tentu mengundang berbagai reaksi dan tanggapan dari para tokoh dan masyarakat Aceh. Di antaranya ada yang menolak rencana Panglima tersebut yaitu mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan mantan eks kombatan GAM, Bakhtiar Abdullah. Keduanya berpendapat senada bahwa penambahan pasukan TNI ke Aceh melanggar MoU Helsinki dimana setelah pasukan non organik ditarik dari Aceh, maka jumlah pasukan TNI organik yang ada di Aceh maksimal berjumlah 14.700 personel dan polisi berjumlah maksimal 9100 personel.
Pernyataan kedua tokoh eks kombatan tersebut masuk akal jika dilandasi dengan MoU Helsinki 2005 lalu dimana pada MoU Helsinki BAB 4 Security Arrangement pasal 4.7 menyebutkan bahwa “The number of organic military forces to remain in Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to remain in Aceh after the relocation is 9100″ (Jumlah militer organik yang berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 personel dan polisi berjumlah 9100 personel). Namun demikian, pernyataan keduanya menjadi absurd apabila dihadapkan dengan UUPA No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA ini tidak disebutkan berapa jumlah maksimal tentara yang ditempatkan dalam suatu daerah.
Pada UUPA bab XXV pasal 202 disebutkan bahwa:
Rencana Panglima TNI tersebut tentu mengundang berbagai reaksi dan tanggapan dari para tokoh dan masyarakat Aceh. Di antaranya ada yang menolak rencana Panglima tersebut yaitu mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan mantan eks kombatan GAM, Bakhtiar Abdullah. Keduanya berpendapat senada bahwa penambahan pasukan TNI ke Aceh melanggar MoU Helsinki dimana setelah pasukan non organik ditarik dari Aceh, maka jumlah pasukan TNI organik yang ada di Aceh maksimal berjumlah 14.700 personel dan polisi berjumlah maksimal 9100 personel.
Pernyataan kedua tokoh eks kombatan tersebut masuk akal jika dilandasi dengan MoU Helsinki 2005 lalu dimana pada MoU Helsinki BAB 4 Security Arrangement pasal 4.7 menyebutkan bahwa “The number of organic military forces to remain in Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to remain in Aceh after the relocation is 9100″ (Jumlah militer organik yang berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 personel dan polisi berjumlah 9100 personel). Namun demikian, pernyataan keduanya menjadi absurd apabila dihadapkan dengan UUPA No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA ini tidak disebutkan berapa jumlah maksimal tentara yang ditempatkan dalam suatu daerah.
Pada UUPA bab XXV pasal 202 disebutkan bahwa:
(1)
Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan
pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
memelihara, melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tugas lain di Aceh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti
penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah
berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.
(4)
Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh tetap
menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan
menghormati budaya serta adat istiadat Aceh.
Dalam
pasal tersebut sangat jelas terjabarkan tugas dan tanggung jawab TNI
dan kewajiban yang dimilikinya. Juga tidak disebutkan jumlah maksimal
personel TNI yang diwajibkan sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki. Lalu
pertanyaannya sekarang, dimanakah posisi MoU Helsinki sebenarnya dalam
sistem hukum kita? Perlu diketahui bagi kita bersama, bahwa Memorandum of Understanding
(MoU) atau pra-kontrak sebenarnya tidak dikenal dalam hukum
konvensional di Indonesia, namun dalam prakteknya MoU sering digunakan
sebagai bentuk kesepahaman yang digunakan oleh dua pihak yang saling
berkaitan. Dalam Black’s Law Dictionary, MoU didefinisikan sebagai bentuk Letter of Intent yang artinya “Suatu
pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang
berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu
tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk
kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat
dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga.
Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan
pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan
kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati. Artinya;
MoU merupakan pendahuluan suatu perikatan; isi materi yang memuat
hal-hal pokok saja; MoU bersifat sementara/memiliki tenggat waktu; tidak
dibuat secara formal sehingga tidak mengikat/kewajiban yang memaksa.
Dari
pernyataan di atas, saya menyimpulkan bahwa UUPA No11 tahun 2006
merupakan kelanjutan/hasil penterjemahan MoU Helsinki sebagai tanggung
jawab moral dan politik Pemerintah Indonesia setelah melakukan
penyesuaian-penyesuaian dalam MoU Helsinki tersebut.
Selanjutnya,
terkait dengan pernyataan Panglima TNI di atas, tentu penambahan
pasukan TNI di Aceh sebagai bentuk langkah strategis Panglima dalam
menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagaimana tugas pokok yang
dibebankan kepadanya dengan tetap berada dalam koridor UU TNI maupun
UUPA. Panglima TNI tentu tidak akan mengambil keputusan hanya dengan
dilandasi MoU yang tidak memberikan konsekuensi hukum apapun dalam
sistem hukum Indonesia. Selain daripada itu, saya juga menilai adanya
pertimbangan geo-strategis TNI di Aceh, “yang tampaknya telah mulai
menyadari” letak geografis Aceh yang sangat strategis, sebagai pintu
masuk menuju Selat Malaka
Oleh
karena itu, langkah strategis Panglima TNI tersebut saya nilai jauh
lebih masuk akal daripada pernyataan-pernyataan para eks kombatan yang
menolaknya, dimana Panglima TNI mengambil keputusan berlandaskan pada
hukum yang berlaku dengan pertimbangan ancaman strategis yang mungkin
tidak datang saat ini namun bisa jadi besok atau di masa yang akan
datang sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk menjawab ancaman
tersebut dengan melakukan langkah-langkah antisipasi. Sementara itu,
bagi para eks kombatan yang masih terpaku dalam MoU Helsinki, saya
menyarankan untuk kembali mempelajari produk-produk hukum yang berlaku
untuk menghindari kesalahan interpretasi dalam menterjemahkannya.(Kompasiana/Rafli Hasan)