DPR Sahkan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
DPR mengesahkan undang-undang yang memberikan hukuman berat bagi penyandang dana atau penggerak pendanaan aksi terorisme.
Anggota pasukan anti-teror Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam sebuah penggerebekan di Solo, September 2012.
JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia pada Selasa (12/2) mengesahkan Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang
mengandung ancaman terberat hukuman mati bagi otak yang menggerakkan
pendanaan aksi terorisme.
Pasal 2 dan 3 Undang-Undang ini berisi ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar bagi mereka yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Sementara itu, pasal 4 mengandung ancaman 20 tahun sampai hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati serta denda Rp 1 miliar bagi mereka yang dengan sengaja merencanakan dan menggerakkan orang lain untuk mengumpulkan atau memberikan dana secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Dengan disahkannya regulasi ini, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta kepada pemerintah, khususnya aparat keamanan, agar lebih cepat mencegah munculnya aksi-aksi terorisme.
“Kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, saya titip kepada pak Presiden, tidak boleh lagi kita kecolongan dengan alasan apapun,” ujar Priyo, dengan menambahkan bahwa DPR tidak merevisi satu pun substansi RUU yang diusulkan pemerintah tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, yang hadir dalam rapat paripurna DPR, mengatakan undang-undang ini menyempurnakan aturan mengenai kriminalisasi pendanaan terorisme yang dikandung dalam Undang-Undang No. 15/2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
“[Undang-Undang yang baru ini] memperkuat peran beberapa instansi antara lain PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Polri dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam menelusuri pendanaan tindak pidana terorisme,” ujar Amir.
Aturan itu, menurut Amir, juga memperkuat penetapan daftar terorisme oleh negara, perluasan substansi hukum acara pidana khususnya penuntutan dan penyidikan, serta penguatan kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorsme.
Dari data PPATK per 31 Desember 2010, PPATK telah menerima sebanyak 128 laporan transaksi keuangan yang diduga terkait tindak pidana terorisme.
Pasal 2 dan 3 Undang-Undang ini berisi ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar bagi mereka yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Sementara itu, pasal 4 mengandung ancaman 20 tahun sampai hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati serta denda Rp 1 miliar bagi mereka yang dengan sengaja merencanakan dan menggerakkan orang lain untuk mengumpulkan atau memberikan dana secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Dengan disahkannya regulasi ini, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta kepada pemerintah, khususnya aparat keamanan, agar lebih cepat mencegah munculnya aksi-aksi terorisme.
“Kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, saya titip kepada pak Presiden, tidak boleh lagi kita kecolongan dengan alasan apapun,” ujar Priyo, dengan menambahkan bahwa DPR tidak merevisi satu pun substansi RUU yang diusulkan pemerintah tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, yang hadir dalam rapat paripurna DPR, mengatakan undang-undang ini menyempurnakan aturan mengenai kriminalisasi pendanaan terorisme yang dikandung dalam Undang-Undang No. 15/2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
“[Undang-Undang yang baru ini] memperkuat peran beberapa instansi antara lain PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Polri dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam menelusuri pendanaan tindak pidana terorisme,” ujar Amir.
Aturan itu, menurut Amir, juga memperkuat penetapan daftar terorisme oleh negara, perluasan substansi hukum acara pidana khususnya penuntutan dan penyidikan, serta penguatan kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorsme.
Dari data PPATK per 31 Desember 2010, PPATK telah menerima sebanyak 128 laporan transaksi keuangan yang diduga terkait tindak pidana terorisme.